Hal itu diungkapkan para ahli konservasi yang memperingatkan pada hari Rabu (18/8) bahwa ancaman tersebut terentang ke terumbu karang lain di seluruh Asia.
Organisasi Wildlife Conservation Society mengerahkan ahli-ahli biologi kelautan ke propinsi Aceh pada Mei lalu ketika air pada permukaan di Laut Andaman mencapai suhu 34 derajat Celsius -- kenaikan rata-rata 4 derajat Celsius untuk jangka panjang.
Tim-tim itu menemukan bleaching masif yang terjadi ketika ganggang yang tinggal di dalam jaringan karang dibuang. Berbagai survei berikutnya yang dilakukan bersama James Cook University Australia dan Univesitas Syah Kuala Aceh menunjukkan 80 persen dari karang-karang itu telah mati sejak itu.
Meskipun para ilmuwan itu belum mengeluarkan data untuk publikasi dalam sebuah jurnal review, mereka dan lain-lainnya mengatakan kecepatan dan luasnya kematian karang itu melampaui gangguan bleaching lain sejak beberapa waktu silam. Penyebab bleaching itu tampaknya karena suhu udara yang makin panas, yang pada tingkat tertentu disebabkan pemanasan global.
"Ini merupakan suatu tragedi tidak hanya bagi sebagian terumbu karang paling beragam di dunia, tapi juga bagi penduduk di wilayah tersebut," ujar Caleb McClennen, manajer program kelautan untuk Indonesia dari kelompok berkedudukan di New York tadi.
Dia menyebut, banyak orang bergantung pada kehidupan laut yang melimpah untuk penghidupan mereka dan uang yang diperoleh melalui pariwisata.
Formasi-formasi karang rusak parah dibuat pemanasan terkait El-Nino pada tahun 1997 dan 1998.
Terumbu tersebut mulai bangkit lagi ketika gempa bumi pada 26 Desember 2004 di lepas pantai Sumatera memicu tsunami yang menewaskan lebih 230.000 orang di duabelas negara. Musibah itu merusak lebih sepertiga terumbu karang di Aceh, tapi para ilmuwan mengatakan karang tersebut pulih lebih cepat daripada perkiraan, utamanya berkat kolonisasi alam dan berkurangnya praktek illegal fishing.
"Ini merupakan perkembangan yang mengecewakan, khususnya karena karang yang sama ini terbukti tegar menghadapi guncangan lain terhadap ekosistem ini," tulis Stuart Campbell dari Wildlife Conservation Society pada situs mereka.
"Ini disayangkan karena berbagai upaya internasional untuk meredam berbagai penyebab dan efek perubahan iklim mesti dilakukan jika ekosistem-ekosistem sensitif ini dan komunitas manusia yang rentan... yang mengandalkannya haarus beradaptasi dan bertahan," lanjutnya.
Tinggi suhu udara air -- yang diindikasikan situs Coral Hotspots National Oceanic and Atmospheric Administration telah mempengaruhi seluruh Laut Andaman dan perairan lain -- juga terjadi tak lama setelah matahari memancarkan cahaya terpanas dan ketika awan atau angin cuma sedikit.
Clive Wilkinson, kordinator di Global Coral Reef Monitoring Network di Australia, menyebut keadaan tadi "kombinasi maut" bagi terumbu karang terutama bila berlanjut lebih sebulan, seperti juga terjadi pada tahun 1998.
Hotspot tadi mempengaruhi terumbu karang di seluruh Indonesia serta Malaysia, Thailand, Vietnam dan Sri Lanka, dan kini meluas ke arah utara. "Kita sedang dalam periode pemanasan hebat, yang menumbangkan semua rekor, dan kini ada kecemasan sangat besar soal Pilipina dan akhirnya Taiwan dan barangkali Jepang Selatan," ujar Wilkinson.
"Ini betul-betul cukup serius." (ap/bh)
0 komentar:
Posting Komentar